4:13 Jikalau yang berbuat dosa dengan tak sengaja itu segenap umat Israel, dan jemaah tidak menyadarinya, sehingga mereka melakukan salah satu hal yang dilarang TUHAN, dan mereka bersalah,
4:14 maka apabila dosa yang diperbuat mereka itu ketahuan, haruslah jemaah itu mempersembahkan seekor lembu jantan yang muda sebagai korban penghapus dosa. Lembu itu harus dibawa mereka ke depan Kemah Pertemuan.
4:15 Lalu para tua-tua umat itu harus meletakkan tangan mereka di atas kepala lembu jantan itu di hadapan TUHAN, dan lembu itu harus disembelih di hadapan TUHAN.
4:16 Imam yang diurapi harus membawa sebagian dari darah lembu itu ke dalam Kemah Pertemuan.
4:17 Imam harus mencelupkan jarinya ke dalam darah itu dan memercikkannya tujuh kali di hadapan TUHAN, di depan tabir.
4:18 Kemudian dari darah itu harus dibubuhnya sedikit pada tanduk-tanduk mezbah yang di hadapan TUHAN di dalam Kemah Pertemuan, dan semua darah selebihnya harus dicurahkannya kepada bagian bawah mezbah korban bakaran yang di depan pintu Kemah Pertemuan.
4:19 Segala lemak harus dikhususkannya dari lembu itu dan dibakarnya di atas mezbah.
4:20 Beginilah harus diperbuatnya dengan lembu jantan itu: seperti yang diperbuatnya dengan lembu jantan korban penghapus dosa, demikianlah harus diperbuatnya dengan lembu itu. Dengan demikian imam itu mengadakan pendamaian bagi mereka, sehingga mereka menerima pengampunan.
4:21 Dan haruslah ia membawa lembu jantan itu ke luar perkemahan, lalu membakarnya sampai habis seperti ia membakar habis lembu jantan yang pertama. Itulah korban penghapus dosa untuk jemaah
PENDAHULUAN
Sudah dijelaskan pada minggu-minggu sebelumnya tentang status dan fungsi HUKUM TAURAT dalam penyelenggaraan kehidupan umat Israel. Oleh karena itu, penjelasannya hanya singkat saja : Sumber-sumber penulisan Kitab PENTATEUCH ( ke – 5 Kitab Musa : Kejadian, Keluaran, Immamat, Bilangan dan Ulangan), yang disebut : Sumber Yahwis (Y dari wilayah Israel Selatan), sumber Elohis (dari wilayah Israel Utara), sumber Priest (Imam-Imam) dan sumber Deuteronomis (D); menyoroti status dan fungsi HUKUM TAURAT sebagai pengajaran (petunjuk) yang diberikan Allah kepada umat Israel untuk membangun persekutuan ibadahnya kepada Allah dan bagi kehidupan bersama sesama.
Ibadah, menurut tradisi Agama Musa, tertuju kepada Allah (fungsi kultus ritual) dan untuk melayani kehidupan bersama di dalam masyarakat (fungsi sosial). Kedua fungsi ibadah itu wajib dilakukan dalam waktu bersamaan dan juga tidak boleh secara berurutan. Memprioritaskan Allah dalam ibadah sama nilainya dengan memperhatikan kebutuhan sesama manusia. Membangun hubungan vertikal yang baik dan benar dengan Allah, sama bobotnya dengan memelihara serta membina kebersamaan persekutuan. HUKUM TAURAT mengatur dan menertibkan perilaku manusia dalam ibadah seperti itu.
STATUS DAN FUNGSI HUKUM TAURAT
Sumber utama dari Kitab Imamat dan Kitab Bilangan adalah Sumber Teologi Priest (Imam-Imam). Tidak mengherankan, jika Imam-Imam memikirkan dasar teologi bagi pembangunan Ibadah Israel dalam fungsi kultus-ritualnya. Hal ini didorong latar belakang bahaya sinkritis yang terjadi karena perjumpaan Israel dengan konteks agama-agama suku / budaya dari masyarakat sekitarnya (suku-suku yang mendiami wilayah Kanaan). Perbedaan mencolok di antara kedua aliran keagamaan itu disebabkan karena kultur (nilai)-nya serta latar belakang budayanya.
Sejak zaman Abraham, Israel adalah suku-suku semi-nomaden (pengembara). Pernyataan ini muncul berdasarkan pengakuan Israel tentang eksistensinya : “Bapa kami adalah seorang pengembara” Kadang mereka dapat menetap lama pada suatu tempat peternakan, jika kondisi alamnya menguntungkan; jika tempat (padang rumput) sudah tidak menguntungkan, mereka akan bergerak mencari lahan baru bagi ternak kambing-dombanya.
Bersamaan dengan latar belakang tersebut, Israel memiliki tradisi keagamaan. Mereka percaya kepada Allah yang Hidup dan yang bergerak memimpin ke masa depan. Allah, bagi Israel, adalah TUHAN yang tidak menetap pada suatu tempat. Dia berada di segala ruang waktu dan tempat. Dia tidak mengikatkan diri kepada suatu tempat peribadahan dan ke dalam bentuk-bentuk benda suci yang diciptakan manusia. Keyakinan keagamaan Israel menyebutkan, bahwa TUHAN, Allah Israel bersifat Esa (bd. Pengakuan Iman Israel --> Ul. 6 : 4). Sebuah keyakinan tentang ketunggalan Allah (monotheism).
Berbeda dengan keyakinan Israel. Suku-suku Kanaan bermata pencaharian pertanian. Berbudaya argokultur. Sistem dan fungsi kehidupan masyarakatnya sudah tertata rapih dan sudah berlangsung turun temurun sebelum Israel menduduki wilayahnya. Keagamaan suku-suku Kanaan itu pun berkaitan dengan latar belakang pertanian. Mereka memiliki ilah-ilah yang dirupakan dalam patung maupun realief, juga tempat-tempat penyembahan (kuil). Menurut mereka, ilah-ilahnya itu terikat pada tempat dan penyembahnya. Sekalipun ilah-ilahnya mempunyai kuasa, namun kekuasaannya terbatas pada wilayah dan penyembahnya. Agamanya ini bersifat politheis, panteon dan sebagainya.
Berbeda dengan Israel yang memahami dan mengakui, bahwa mereka sangat tergantung pada TUHAN, Allah leluhurnya; suku-suku Kanaan sangat terikat pada lokus penyembahan (kuil) di mana ilah-ilahnya berdomisili. Eksistensi suku-suku Israel hanya terjadi karena kesatuan pemahaman dan pengakuan iman akan Allah yang sama, yang memanggil dan membuat perjanjian dengan leluhurnya : Abraham, Ishaq dan Ya’aqob. Israel bukan sebuah masyarakat yang tercipta karena jargon dan tujuan politik, tetapi eksistensi Israel sangat tergantung pada pemahaman dan pengakuan imannya kepada TUHAN Allah.
Di sinilah Israel memahami status dan fungsi HUKUM TAURAT sebagai piƱata kehidupan yang membawa mereka ke dalam keselamatan (makna HUKUM TAURAT dalam Perjanjian Lama). Jika Israel taat memberlakukan hukum, maka seluruh aspek kehidupan mereka pasti diberkati Allah. Sebaliknya, jika mereka tidak setia, maka TUHAN Allah pasti menghukumnya. Dalam hal ini Agama Israel adalah Agama Hukum, sama seperti semua agama langit yang berasal dari Timur Tengah.
Pada waktu Israel telah tiba dan telah menduduki hampir seluruh wilayah Kanaan, muncullah persoalan baru : bahaya sinkritisme (akulturasi budaya). Banyak pola dan warna budaya, termasuk bentuk pemerintahan dan ritual agama suku-suku Kanaan diambil alih. Dimulai dari penyembahan kepada Atarste dan Baal sampai pembentukan protipe pemerintahan pada akhir masa hakim-hakim (menjelang akhir masa kerja Hakim dan Nabi Samuel). Sikap sinkritis itu berlangsung wajar dan biasa bagi masyarakat Israel. Akan tetapi bagi teolog-teolog Israel (Imam-Imam dan Nabi-Nabi) keadaan itu dilihat sebagai ancaman terhadap integritas keumatan. Oleh karena itu, para teolog Israel melancarkan apologia terhadap sikap umat Allah.
Peristiwa yang terekam oleh ahli sejarah Israel (Penulis Kitab Raja-Raja dan Tawarikh) adalah REFORMASI KEAGAMAAN yang dilancarkan dalam masa pemerintahan Raja YOSIA BIN AMON, tahun 622/1, sb M. (2 Rj. Psl 22 – 23; bd. 2 Taw. 34 : 1 – 35 : 19). Reformasi itu dibantu oleh para teolog yang masih setia memelihara tradisi Agama Musa, termasuk Nabi YEREMIAH. Gerakan reformasi itu mendesak seluruh umat Israel untuk kembali melaksanakan dan menyelenggarakan ibadah kepada TUHAN, Allahnya, berdasarkan perintah HUKUM TAURAT (2 Taw. 24:14–33; bd. 2 Rj. 22 – 23). Sekali lagi, reformasi itu tidak mengubah pemahaman dan pengakuan iman Israel kepada Allah (Ul. 6:4), melainkan membersihkan seluruh bentuk peribadahan (ritual) yang tidak sesuai dengan karakteristik Agama Musa. Akan tetapi perlu diperhatikan, meskipun model ritual tertentu, yang berasal dari Agama suku-suku sekitarnya, dipakai namun isinya sudah dibersihkan dan dimaknai sesuai jiwa HUKUM TAURAT. Inilah yang disebut theology in locco (Kontekstualisasi atau pemribumian teologi Agama Israel), berteologi di tengah konteks misional.
Dalam proses reformasi (pembaharuan) sistem dan fungsi agama Israel (yang mengembangkan Agama Abraham dan Musa), Imam-Imam melakukan re-interpretasi dan re-formulasi status dan fungsi HUKUM TAURAT. Dasar teologinya adalah : KUDUSLAH KAMU, SEBAB AKU, TUHAN, ALLAHMU, ADALAH ALLAH YANG KUDUS ! (bd. Im. 19:2; 20:7, 26, dll).
Biasanya, para pakar Perjanjian Lama, mengkategorikan seluruh ketetapan, peraturan, aturan dan perintah yang terdapat di dalam Kitab Immamat dan Kitab Bilangan ke dalam HUKUM KEKUDUSAN. Kemungkinan Kitab inilah yang menjadi sumber bagi penulisan kedua kitab tersebut. Dari penjelasan demikian, muncul kesimpulan, bahwa para penulis sumber Priest (Imam-Imam yang berdomisili di Israel Utara, kemungkinan kecil ada sebagian kecil juga di Israel Selatan) menyoroti fungsi HUKUM TAURAT untuk mengatur kekudusan peribadahan Israel kepada Allah serta bagaimana Israel harus berperilaku baik dan benar (kudus) di hadapan-Nya.
HUKUM KEKUDUSAN TENTANG IBADAH DAN KORBAN
Dasar Hukum Kekudusan :
KUDUSLAH KAMU, SEBAB AKU, TUHAN, ALLAHMU, ADALAH ALLAH YANG KUDUS bd. Im. 19:2; 20:7, 26, dll
Tujuan Hukum Kekudusan :
MEMELIHARA PERIBADAHAN DAN PERILAKU UMAT, AGAR MENJAGA KEKUDUSAN ANUGERAH ALLAH DALAM MEMBINA HUBUNGAN BAIK DENGAN ALLAH SERTA BERSAMA SESAMA
Untuk diketahui, bahagian (fragmen) utama dari KITAB HUKUM KEKUDUSAN ini termuat dalam Kitab Imamat 18 – 23 tentang kudusnya perkawinan, kudusnya hidup, kudusnya umat TUHAN, kudusnya para imam, kudusnya kebaktian korban dan kudusnya hari-hari raya yang harus dilaksanakan umat Israel.
Dari situlah kita akan membahas status dan fungsi KORBAN KESELAMATAN yang dipersembahkan umat Allah, jikalau mereka berbuat dosa dan juga pada perayaan-perayaan
MANUSIA MAKHLUK BERDOSA.
Sesuai kesaksian Alkitab, manusia adalah makhluk ciptaan Allah. Ia diberikan hak dan kewajiban untuk melaksanakan ibadahnya di tengah dunia (Kej. 2 : 15). Akan tetapi dalam pelaksanaan ibadah itu, manusia salah menggunakan otoritas (kuasa) yang diberikan kepadnya. Ia memberontak dan berbuat dosa. Akhirnya TUHAN Allah menghukumnya.
TUJUAN DARI RENCANA ALLAH
1. PANGGILAN ABRAHAM DAN ISRAEL.
Allah mempunyai rencana tentang masa depan kehidupan manusia di atas bumi. Di dalam rencana itu terkandung tujuan dan maksud-Nya untuk membebaskan dan menyelamatkan manusia dari kutukan (hukuman mati). Dia mengawali karya penyelamatan dengan memilih dan memanggil Abraham, leluhur Israel, untuk melaksanakan rencana-Nya. Allah memanggil dan mengutus Abraham untuk menyelenggarakan ibadah, yang membawa berkat dan damai sejahtera ke atas keturunannya (secara eksplisit) juga kepada bangsa-bangsa (secara implicit).
Panggilan dan pengutusan Abraham itu dilanjutkan oleh Israel (bd. Kel. 4 : 21 – 24), keturunan Abraham secara biologis. Orang Israel dipanggil untuk menyelenggarakan ibadah yang mendatangkan damai-sejahtera, keadilan dan kebenaran serta sukacita bagi semua orang.
2. HUKUM PERJANJIAN
HUKUM TAURAT adalah peraturan-peraturan yang diilhamkan oleh Allah kepada Musa, agar ia menata kehidupan umat Israel, umat Perjanjian. Hukum itu diberikan dengan tujuan, agar Musa, kemudian hari Israel, menata dan menertibkan penyelenggaraan Ibadahnya, baik dalam hal-hal ritual (Teologi Imam-Imam dalam Kitab Imamat dan Kitab Bilangan) maupun pengabdian kemasyarakatan (Teologi Deuteronomi dalam Kitab Ulangan). Tujuan pemberian hukum itu adalah membangun, membina dan memelihara hubungan (Ibr. nisbah) baik dengan Allah serta menjadi berkat bagi pembangunan kehidupan masa depan manusia ciptaan-Nya.
3. IBADAH UMAT PERJANJIAN
Sejak penciptaan Israel sebagai sebuah bangsa melalui peristiwa eksodus dari Mesir, TUHAN Allah menghendaki mereka menyelenggarakan Ibadah kepada-Nya. Kebangsaan (keberadaan Israel selaku bangsa merdeka) tidak dapat dilepaskan dari tindakan Allah yang membebaskan mereka dari Mesir. Oleh karena itu, sepanjang perjalanannya sebagai sebuah bangsa merdeka, Israel wajib menyelenggarakan ibadah kepada Allah. Ibadah itu diatur dalam Hukum-Hukumnya.
4. DOSA DAN KEJAHATAN ISRAEL.
a). DOSA YANG DISENGAJA
Dosa yang disengaja adalah perbuatan yang lahir dari sikap hati yang menentang kedaulatan Allah. Pelanggaran (Ibr. hathat) itu tampak dari sikap melangkahi ketetapan-ketetapan, peraturan-peraturan, aturan-aturan, serta perintah (Bhs Ibr. mishphatim) yang difirmankan Allah melalui Musa (Hukum Taurat).
b). DOSA YANG TIDAK SENGAJA
Perbuatan dosa yang tidak sengaja ini disebabkan ketidak tahuan si pelaku. Hal itu dapat terjadi karena alasan kondisional (situasional) :
1. Si pelaku kurang atau tidak pernah menerima informasi / penjelasan tentang perintah Allah dari pejabat Bait Allah/ presbiter Gereja.
2. Si pelaku mengalami keadaan tiba-tiba yang tidak disangka-sangka. Misalnya, ketika seseorang menyerang dirinya secara tiba-tiba, kemudian ia membela diri, sehingga mengakibatkan lawannya meninggal dunia.
Kondisi seperti itulah yang, mungkin, menjadi latar belakang penulisan Imamat 4 : 13 – 23 ini. Kondisi seperti ini perlu menjadi pertimbangan hukum atas kasus-kasus tertentu. Tetapi kondisi ini tidak perlaku umum pada setiap kasus kejahatan atau kesalahan.
5. KASIH DAN PENGAMPUNAN DALAM IBADAH RITUAL
Penyelenggaraan upacara-upacara ibadah (ritual) bertujuan:
a) Melalui peribadahan itu, bukan saja umat berjumpa melainkan juga ia mendengarkan firman yang disampaikan oleh hamba-hamba-Nya.
b) Melalui peribadahan itu umat menyatakan syukur kepada Allah melalui pemberian persembahan sebagai ungkapan kasih dan ketaatan kepada-Nya, akan tetapi juga sebagai ungkapan permohonan pengampunan dosa.
6. PERSYARATAN KORBAN PERSEMBAHAN
Penulis Imamat mengatakan, korban persembahan itu adalah lembu jantan atau kambing – domba yang tidak bercela, tidak bercacat. Keadaan korban itu diharuskan oleh Allah dan bukan ditentukan umat. Israel harus taat melakukan semuanya. Perihal tidak bercacat dan tidak bercela menunjuk pada kesempurnaan dan yang terbaik. Pemberian persembahan itu haruslah dari yang terbaik yang diberikan Allah, dan bukan berdasarkan ukuran manusia. Bukan untuk menunjukkan kemampuan memberi yang dapat dilakukan, melainkan untuk menyenangkan hati Allah. Bukan dalam jumlah melainkan, kualitas kehidupan bathin yang nampak dalam tanda-tanda lahiriah.
PENUTUP
Kalau ingin melihat perkembangan teologi Perjanjian Lama dalam Perjanjian Baru, saya mempersilahkan saudara membaca surat-surat Paulus dan Surat kepada Orang Ibrani..
ITT - April 2010 - KRT SP4 di Kel.Tanak