Kita semua hidup di alam 3 dimensi; dimensi ruang, gerak dan waktu ... yang membuat kita nyata dan eksis di alam ciptaan Tuhan ini. Sebagaimana dimensi alam, manusia juga punya dimensi berpikir, berujar dan bertindak. Bila satu dimensi berkurang, kita seperti televisi yang hanya punya tampilan gerak dan suara tetapi tidak nyata ..... Mari berusaha mengharmonisasi ketiga dimensi ini supaya kita nyata dan berguna, seperti kehendak-Nya menciptakan kita.

Blogspot Kumpulan Artikel dan Pengajaran Kristen dalam Lingkungan GPIB

Sunday, March 9, 2008

Catatan seorang Jemaat yang (dulu) sulit duduk manis di Gereja


Saya bukan paranormal. Tetapi saya berani menaksir sedikitnya 4 dari 10 orang yang menghadiri ibadah Minggu di Gereja pernah berpikir begini, “saya ke Gereja setiap Minggu, tapi saya lebih sering merasa tidak dapat apa-apa. Selama ibadah saya sulit konsen. Pikiran melayang kemana-mana. Jika begini terus, apa masih ada gunanya saya ke Gereja?”

Yang sulit ditaksir adalah kebanyakan mereka itu jemaat baru atau lama, laki atau perempuan, remaja atau lanjut usia, aktivis atau bukan, miskin atau kaya, berpendidikan tinggi atau hanya lulusan SD, karena siapa saja bisa kena godaan itu. Bahkan pengasuh PA/PT bisa punya pengalaman yang sama hanya pengungkapannya yang berbeda. “Memangnya saya harus menghadiri ibadah umum? Bukankah dengan memimpin Sekolah Minggu otomatis saya sudah berbakti kepada Tuhan?”

Jika pertanyaan “mengapa begitu ...?” diajukan kepada mereka, maka cerita yang kita peroleh adalah khotbah yang tidak menarik, musik dan lagu yang ketinggalan jaman, liturgi yang membosankan, ruang Gereja yang panas, pendeta yang pilih kasih, majelis jemaat yang begini-begitu, paduan suara yang “old style” dan semacamnya; yang ada di luar diri mereka. Lalu mereka menceritakan hal-hal yang menarik di Gereja lain. Harus disyukuri bila ternyata mereka pindah ke Gereja yang pas dengan kebutuhannya itu. Tetapi ada di antara mereka yang tidak ke mana-mana pada hari Minggu. Mereka menunggu dikunjungi pendeta atau penatuanya. Mereka menunggu cerita domba yang hilang menjadi realita sampai berbulan-bulan. Ketika saya mengeluhkan kurangnya perhatian ini kepada seorang teman, dia tertawa. “Jaman sekarang orang berpikir ekonomis dan kritis, tidak seperti orang jaman dulu,” katanya. “Sekarang kalau ada domba yang hilang, sebelum tim SAR diberangkatkan, spesifikasi domba itu dipelajari dulu. Berapa kilo bobotnya, bagaimana kesehatannya, seberapa tinggi kepatuhannya. Kalau dia gemuk, sehat dan penurut, tim penyelamat segera berangkat. Tapi ceritanya bisa berbeda kalau domba yang hilang itu kamu. Sudah kerempeng, berpenyakitan, cerewet lagi.”

Bagaimana kita memandang Gereja, sangat menentukan sikap kita ketika berada di dalamnya. Dulu saya pernah berpikir bahwa Gereja adalah tempat hiburan. Maksudnya, saya akan dihibur selama satu atau sekian jam di dalam Gereja. Karenanya, saya mudah merasa gerah bila paduan suara tidak menyanyi dengan baik, pendeta membawa khotbah yang topiknya tidak saya sukai, atau pemain musik bermain dengan langgam klasik. Sikap saya berubah ketika kemudian saya bisa menerima pendapat bahwa ke Gereja berarti datang bersama-sama orang Kristen lainnya untuk beribadah kepada Tuhan, bukan untuk menyenangkan diri sendiri. Menghadiri ibadah ternyata bukan hak, tetapi kewajiban. Seperti kewajiban seorang anak untuk menyatakan hormatnya kepada orang tuanya.

Pelayanan

Kata kebaktian umum atau IHM (Ibadah Hari Minggu) diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan “Sunday Service”. Kata “service” berasal dari kata to serve, melayani. Dari kata to serve, lahir kata servile (bersikap merendahkan diri), servility (sikap sebagai budak) dan servitude (perhambaan).
Kata “service” yang berarti “layanan” atau “ibadah” ini bisa ditemui dalam Alkitab berbahasa Inggris. Misalnya di Filipi 2:17 (KJV) “Yea, and if I be offered upon the sacrifice and service of your faith, I joy, and rejoice with you all” (Tetapi sekalipun darahku dicurahkan pada korban dan ibadah imanmu, saya bersukacita dan saya bersukacita dengan kamu sekalian). Kata service atau ibadah dalam Alkitab ini diterjemahkan dari kata leitourgia. Kata ini juga muncul di Lukas 1:23 (= jabatan imam/ministration), 2 Korintus 9:12 (pelayanan/service), Filipi 2:30 (pelayanan/service), Ibrani 8:6 (pelayanan/ministry), Ibrani 9:21 (ibadah/ministry).

Dari beragam arti dalam kata leitourgia, saya menyimpulkan bahwa ketika beribadah dalam kebaktian Minggu, walaupun hanya sebagai jemaat biasa, kita sedang melaksanakan pelayanan. Dari liturgi yang kita pergunakan, jelas bahwa pelayanan ini jauh lebih tinggi nilainya daripada pelayanan-pelayanan lain karena di sini yang kita layani adalah Tuhan Allah, bukan manusia.

Sayangnya, kita lebih meninggikan pelayanan kepada manusia daripada kepada Tuhan. Kita berani datang terlambat dan pulang lebih awal ketika beribadah, tetapi kita tidak berani melakukan hal yang sama dalam rapat di kantor. Kita berani gaduh sendiri dalam kebaktian, padahal dalam seminar-seminar kita bisa duduk dengan manis tanpa kata.

Terapi

Tidak bisa selalu duduk manis dalam ibadah adalah salah satu penyakit saya dulu. Ada saja yang menghalangi saya duduk manis, yang semuanya bersumber pada “tidak punya kerendahan hati.”
Begitu duduk, mata saya melihat berkeliling. Selalu saja saya menemukan hal-hal yang kurang beres. Mulut tidak bicara, tapi hati ngomel. “PHMJ Gereja ini payah. Malas kok dipelihara. Ini kan sudah selesai Tahun Baru, kok hiasan-hiasan Natal belum juga dilepas?” - “Kok bangkunya goyang ya?” - “Sound systemnya kok begitu?” dll dsb.

Waktu pendeta saya berkhotbah, barulah saya duduk manis untuk menyimaknya. Sayangnya bukan sebagai murid yang duduk mendengar gurunya mengajar, tetapi untuk meneliti apakah yang dibicarakan itu tidak menyimpang dari pengajaran Alkitab, doktrin dan dogma Gereja. Ini susahnya kalau kami berdua sama-sama bergelar M.Min. Kepanjangan gelarnya (nanti) adalah “Master of Ministry”, sedangkan punya saya “Mung Minteri” (hanya sok pintar) = (maaf Pak, pakai bahasanya Bapak).

Karena menyadari sikap seperti ini tidak sepatutnya dipelihara apalagi dikembang-biakkan, saya berusaha mencoba beberapa kiat untuk mengobatinya.

Terapinya adalah bersikap cuek, mematikan perasaan. Tetapi kalau yang ada di depan – entah itu pemusik, anggota paduan suara, penatua/diaken – adalah orang yang sedang tidak saya sukai, sulit saya mengosongkan perasaan tanpa memejamkan mata. Untuk meram saya tidak berani karena takut tertidur. Pernah saya melihat seorang jemaat tertidur nyenyak sekali. Jemaat di dekatnya hanya senyum-senyum kecut saja. Penatua juga tidak berani membangunkannya. Mungkin takut dituduh merusak kedamaian yang sedang dinikmati oleh jemaat yang berlelah ini. Apa tidak memalukan kalau saya mengalami nasib yang sama? Solusinya, saya menundukkan kepala sambil mengulum permen. Lagipula saya selalu duduk di barisan bangku paling belakang. Ketahuan Tuhan pasti, tapi tanpa resiko, karena Ia tidak akan pernah menceritakan kemunafikanku ini kepada orang lain. Iya kan?

Solusi?

Walaupun saya belum punya solusi terbaik, tetapi sekarang saya jarang gagal duduk manis dalam ibadah Minggu, karena, ..............

Berusaha mengingatkan diri bahwa sewaktu beribadah saya sedang bertamu di rumah Tuhan. Tidak sopan ketika duduk di ruang tamu seorang pejabat, mata kita sibuk meneliti tamu-tamu lainnya tanpa pernah menatap pemilik rumah. Juga kurangajar bila kita menolak minuman dan makanan kecil yang disodorkan tuan rumah hanya karena itu air mineral dan krupuk saja. Terlebih lagi bila saya terus menatap fotonya yang tertempel sedikit miring di dinding sambil cengar-cengir, senyum-senyum sinis, sambil sesekali menengok ke arah pelayannya.

Saya pernah beribadah di beberapa Gereja pedesaan. Jemaatnya berpakaian rapi. Yang pria bila tidak berbaju batik, pasti mengenakan jas. Biar pun jasnya kelas ekonomi, tetapi itu menunjukkan rasa hormat mereka telah dipersiapkan sejak dari rumah. Yang perempuan mengenakan busana terbaik mereka walaupun sehari-hari mereka berpakaian seadanya. Kebanyakan dari mereka rambutnya agak basah seperti baru saja keramas. Mereka semua bersepatu, walau pun waktu berangkat dan pulang mereka menggantinya dengan sandal jepit karena harus berbaris macam kereta api di pematang sawah. Ketika ibadah berlangsung, mata mereka menatap lurus ke depan. Mereka tidak berbisik-bisik. Mereka orang alim? Tidak juga. Karena setelah selesai ibadah mereka berbicara dengan gaduh dan saling tumpang tindih seperti kita-kita yang hidup di kota. Tetapi mereka tahu bagaimana harus bersikap sewaktu beribadah.

Ketika menyanyi saya memanfaatkan syair lagu itu untuk menuntun pikiranku. saya memikirkan bagaimana Tuhan berkarya dalam hidupku sepanjang minggu lalu sehingga saya merasakan lagu itu bukan sekedar sebuah lagu saja. Tetapi juga madah syukur, pengharapan, doa, dan keyakinan saya akan kasih setia-Nya. Saya tidak lagi meributkan musik iringan atau kepiawaian pemusiknya karena saya selalu meyakinkan diri kalau saya sedang berada di Gereja, bukan dalam gedung pertunjukan pagelaran musik. Lagipula uang yang saya keluarkan waktu beribadah tidak sebanyak yang saya keluarkan untuk sebuah pagelaran musik. Bayarnya sedikit, kok maunya macam-macam.

Ketika mendengar paduan suara menyanyi saya mengingatkan diriku bahwa mereka telah berusaha melakukan yang terbaik. saya tidak lagi melipat kulit dahiku bila mendengar satu dua not dinyanyikan fals atau mereka gagal meraih nada-nada tinggi. Untuk penampilan selama 5 menit ini mereka telah berlatih belasan jam dan membelanjakan sekian belas ribu rupiah dari sakunya masing-masing untuk transportasi latihan di Gereja. Bila saya tergoda untuk memandang rendah persembahan mereka, bersegera saya bertanya, “Sudahkah yang terbaik saya berikan kepada Tuhan?”

Menjelang khotbah saya mengeluarkan secarik kertas dan ballpoint. Bukan untuk menyibukkan diri dengan menulis apa-apa yang akan saya beli di mall seusai ibadah atau membuat gambar-gambar lucu agar pikiran tidak mengembara atau mengantuk, tetapi membuat ringkasan khotbah dan mencatat hal-hal yang menarik dari yang saya dengar. Catatan-catatan ini saya tulis ulang dalam komputerku. Tanpa saya sadari dengan melakukan kegiatan ini, saya belajar menulis apa yang saya pikirkan.

Jadi, .......
marilah kita tetap setia dan terus berusaha melakukan ibadah dengan benar, dengan kerendahan diri, dengan sikap seorang hamba yang sedang melayani Tuannya. Bila tidak, kita akan mengalami kesulitan dalam kerja pelayanan kepada manusia. Mungkinkah kita bisa bersungguh-sungguh membawa orang lain kepada Tuhan Allah yang tidak sepenuhnya kita hormati, yang tidak pernah kita layani dengan sebaik-baiknya?

Duduk manis dalam ibadah adalah batu fondasi setiap kegiatan kesaksian dan pelayanan yang dilakukan oleh setiap orang Kristen. Duduk manis sewaktu beribadah bukanlah sesuatu yang gampang tetapi layak diperjuangkan, sampai kita merasakan datang beribadah di Gereja adalah sebuah kerinduan, bukan lagi kewajiban.

“Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat” – Ibrani 10:25.

ITT - Minggu, 9 Maret 2008